Teman Pertama di SMA

 Sekolah baru, lingkungan baru, orang tuaku lagi-lagi berpindah tempat kerja.

Aku sendirian di sini, di tengah keramaian siswa.

Pertama kali ku menginjakkan kaki di SMA, saat itu tahun ajaran baru. Ku perhatikan ocehan-ocehan siswa, terlarut di dalamnya.

"Ku takkan pernah bisa seperti itu." jawabku.

Aku adalah orang yang pemalu. Bahkan, ku selalu ingin menghindar dari manusia lainnya. Namun apa daya, kehidupan selalu memaksa untuk bersosialisasi.

Pernah waktu itu, saat ku berbelanja di warung. Kasir bilang padaku bahwa uangku kurang. Mukaku memerah, badanku berkeringat dingin, dan aku langsung berlari meninggalkan tempat itu dengan ketakutan.

Bel sekolah berbunyi, aku mencari ruangan kelasku, tentunya tak berani untuk bertanya. Alhasil, ku tersasar di sini, dihadang oleh pintu-pintu kelas yang menyeramkan.

Di tengah kebingungan, aku melihatmu menghampiri diriku. Dengan badan tinggi, rambut gondrong, dan alis tebalmu.

"Kamu kelas berapa?" tanyamu.

Pikiranku langsung memanas, badanku mulai bergetar, ketakutan. Namun aku memberanikan diri untuk menjawab pertanyaanmu.

"Sepuluh tiga."

Kamu pun memegang tanganku, menarik dengan lembut kemudian membawaku ke tempat tujuan.

Rupanya, kita sekelas. Kamu duduk di bangku yang kosong, tak lupa mengajakku duduk bersama.

Ku tatap wajahmu. Kamu terlihat seperti anak yang baik dan perhatian. Karena itu, aku pun memberanikan diri untuk berbicara padamu.

"Salken, aku Egra." kataku.

"Ghani, salken." balasmu.

Aku berhasil. Aku berhasil memulai pembicaraan dengan orang asing. Inilah pencapaian terbesarku selama ini.

Setelah itu, kita dapat mengobrol dengan tenang. Tak ada lagi ketakutan yang menghantui pikiranku. Tak ada lagi kepanikan yang kambuh. Kamulah teman pertamaku. Kamulah teman terbaikku.

Sebulan pun berlalu. Kita bagaikan sahabat sehidup semati yang tak terpisahkan. Kita saling menceritakan segala kisah hidup dan trauma yang ditimpa. Rahasia-rahasia yang disembunyikan, hanya kita berdua yang tahu.

Namun, semua berubah hari ini.

Guru mengumumkan bahwa susunan tempat duduk kelas akan diacak. Ini merupakan mimpi terburukku.

Bagaimana rasanya harus berpisah dengan kamu, yang telah menyelamatkan hidupku?

Bagaimana nasibku sekarang? Akankah kita akan sedekat ini lagi?

Hanya waktulah yang menentukan.

Sekarang, ku duduk dengan orang asing. Kali ini, ku sama sekali tak berani untuk bertanya namanya. Sehari penuh, kami hanya diam-diaman saja. Dan dia, selalu sibuk dengan teman sekelas.

Selama ini, aku selalu memperhatikanmu bercanda tawa dengan teman sebangkumu yang baru. Kalau tak salah namanya Alfan. Atau, Pranata? Atau, Aryan? Huh, aku memang sulit untuk mengingat nama.

Terus terang, aku merasa cemburu denganmu. Kamu mudah saja untuk akrab dengan orang asing. Sementara aku? Menjawab pertanyaan guru saja terasa seperti peperangan hebat.

Dahulu, kamu selalu ada di sisiku. Kamulah yang selalu mendengarkan keluhan-keluhan diriku. Kamulah yang selalu memberi nasihat padaku.

Kemanakah Ghani yang dulu?

Aku ingin Ghani yang dulu.

Waktu terus berjalan. Aku kembali kepada kodratku semula, a single fighter. Tanpamu, apalah dayaku.

Semakin ku lihat, semakin dekat hubunganmu dengan teman-teman lain. Kamu seperti... melupakan diriku.

Kedekatan yang kita bangun bersama selama ini, lenyap begitu saja.

Kamu sudah tak pernah mengajakku mengobrol lagi.

Kamu sudah tak pernah mendengarkan keluhanku lagi.

Dan kamu sudah tak pernah memberiku nasihat lagi.

Sekarang, posisiku tergantikan oleh mereka. Hanya manusia biasa, sifatnya nakal, sering menggangguku, membuat kelas berantakan. Aku heran mengapa kamu bisa berteman dengan mereka.

Aku telah memberikanmu kepercayaan, kekuatan, dan kebahagiaanku. Tapi mengapa, saat aku hanya ingin dikenang olehmu, sedikit saja, kamu meninggalkanku seolah-olah aku sampah?

I made you my temple, my mural, my sky. Now I'm beggin' for footnotes in the story of your life. ~Taylor Swift.

Aku hanya ingin kamu kembali seperti semula.

Ghani, kembalilah.

Hari-hari di sekolah, sangatlah menyengsarakan. Setiap jam, ku pergi ke toilet untuk menenangkan diriku di sana. Energi sosialku terkuras dengan cepat. Tak ada lagi sosok Ghani yang menguatkanku.

Nilai-nilaiku menurun drastis, aku semakin sering menangis, dan terus dirundung oleh teman-teman yang bengis.

Aku harus kuat. Aku harus bangkit. Aku tak boleh terlena dengan segalanya.

Namun apa daya, mengucapkan lebih mudah daripada melakukan.

Easy they come, easy they go. ~Taylor Swift.

Mungkin, aku harus bisa berbaur dengan mereka. Walaupun itu tak mudah, bahkan sangat sulit.

Untuk kedua kalinya, aku memberanikan diri untuk mengikutimu menuju kantin. Walaupun kita telah asing, semoga dapat kembali seperti semula.

Di meja makan, aku duduk di sebelah kananmu. Kamu tak mengucap sepatah kata pun padaku. Sementara ketika temanmu mengerumunimu, kamulah yang memulai pembicaraan dan menghiasinya dengan canda dan tawa. Seolah-olah aku di sana hanya menjadi nyamuk saja.

Aku ditinggalkan. Aku muak.

Aku melempar piring makanku menuju kalian. Segala makanan yang telah tersaji berserakan di lantai, tumpah semua. Kalian menatap wajaku dengan geram. Maaf, amarahku tak dapat dikontrol lagi.

Tanpa berpikir panjang, aku mendobrak meja makan kalian. Darahku memanas. Apa pentingnya kalian untuk Ghani?

Ghani itu milikku, dan selamanya milikku!

Kamu pun menghampiriku. Aku berharap kamu akan merangkul badanku, menenangkanku, dan kembali padaku.

Tapi, kamu malah menghajarku dengan pecahan-pecahan piring, membuat garis-garis darah pada lenganku, dan membuat darah mengucur dari dalam tubuhku.

"Pergi kamu dari sini!"

Teriakanmu masih terngiang-ngiang di otakku. Aku tak boleh kalah, aku harus ikut menjawab.

"Aku sudah capek dengan kalian. Selama ini kalian selalu menganggapku tidak ada. Aku hanya butuh perhatian dari kalian!" Kemarahanku memuncak.

"Ghani, ke mana saja kamu selama ini? Kamulah teman pertamaku di sini. Kamulah yang menyelamatkan hidupku di sekolah ini. Tapi mengapa, seenaknya saja kamu meninggalkanku seorang diri? Aku masih membutuhkanmu! Aku kangen kamu yang dulu!"

Tanpa memberi kalian kesempatan menjawab, aku buru-buru lari menuju tangga, lalu naik ke lantai atas. Aku mendengar kalian ikut berlari mengejarku. Terlambat, kalian akan menyesal.

Aku sampai pada atap sekolah. Tanpa pikir panjang, ku berlari menuju pinggir bangunan. Dengan keberanian, ku melompat dan terjun ke bawah. Yang ku tahu, kalian hanya dapat melihatku bertarung dengan kematian.

Dan, itulah akhir dari hidupku.

Dan, itulah penyesalan terbesarku.

Kalian berduka cita denganku, bersalam dengan keluargaku, dan meminta maaf karena telah membuatku seperti ini.

Tapi apa?

Tapi kalian tetap menjalani kehidupan seperti biasa.

Kalian tetap hidup seperti aku tak dilahirkan di dunia ini.

Kejadian diriku kalian anggap seperti drama sinetron saja.

Aku menyesal. Aku tidak dapat hidup kembali di dunia. Sementara kalian, tetap saja bersenang ria menikmati dunia yang indah.

Andai ku bisa memutarbalikkan waktu.

Komentar

Postingan Populer